Jumat, 28 September 2012

WASIAT DAN PERMASALAHANNYA


KERANGKA MATERI
WASIAT DAN PERMASALAHANNYA
Oleh: Zainal Masri
STAIN BATUSANGKAR

A.    Pengertian Wasiat, Hukum dan Dasar Hukum Wasiat
1.      Pengertian wasiat
2.      Hukum wasiat
a.       Wajib
b.      Sunah
c.       Haram
d.      Makruh
e.       Jaiz
3.      Dasar hukum Wasiat
a.       Al-qur’an
b.      Hadits
c.       Ijma’
B.     Rukun dan Syarat-Syarat Wasiat
1.      Rukun Wasiat
2.      Syarat-syarat Wasiat
C.     Permasalahan Tentang Wasiat
1.      Yang tidak boleh menerima wasiat
2.      Batalnya Wasiat
3.      Pencabutan Wasiat
4.      Wasiat Wajibah
5.      Ketentuan Teknis
D.    Perbedaan Wasiat dengan Wasiat wajibah






WASIAT  DAN PERMASALAHANNYA
A.    Pengertian Wasiat, Hukum  dan Dasar Hukum Wasiat
1.      Pengertian Wasiat
Kata wasiat (washiyah) diambil dari kata washshaitu asy-syaia, uushiihi, artinya aushaltuhu (aku menyampaikan sesuatu). Maka muushii (orang yang berwasiat) adalah orang yang menyampaikan pesan diwaktu dia hidup untuk dilaksanakan sesudah dia mati (Sayyid Sabiq, 1987 : 230).
Menurut Amir Syarifuddin secara sederhana wasiat diartikan dengan: “ penyerahan harta kepada pihak lain yang secara efektif berlaku setelah mati pemiliknya “.
Menurut istilah syara’ wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang ataupun manfaaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat mati (Sayyid Sabiq, 1987 : 230).
Menurut Hukum Islam pasal 171 huruf f wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia (Elimartati, 2010 : 59).
Wasiat adalah amanah yang diberikan seseorang menjelang ajalnya atau dia membuat dan berwasiat dalam keadaan sedang tidak sehat, artinya bukan ketika menjelang ajal. Wasiat dapat dipandang sebagai bentuk keinginan pemberi wasiat yang ditumpahkan kepada orang yang diberi wasiat. Oleh karena itu, tidak semua wasiat itu berbentuk harta. Adakalanya wasiat itu berbentuk nasihat, petunjuk perihal tertentu, rahasia orang yang memberi wasiat, dan sebagainya (Beni Ahmad Saebani, 2009 : 343).
Dari berbagai definisi tersebut dapat di jelaskan bahwa wasiat adalah pemberian seseorang pewaris kepada orang lain selain ahli waris yang berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
2.      Hukum Wasiat
Menurut Sayyid sabiq, hukum wasiat itu ada beberapa macam yaitu :
a)      Wajib
Wasiat itu wajib dalam keadaan jika manusia mempunyai kewajiban syara’ yang dikhawatirkan akan disia-siakan bila dia tidak berwasiat, seperti adanya titipan, hutang kepada Allah dan hutang kepada manusia. Misalnya dia mempunyai kewajiban zakat yang belum ditunaikan, atau haji yang belum dilaksanakan, atau amanat yang harus disampaikan, atau dia mempunyai hutang yang tidak diketahui sselain dirinya, atau dia mempunyai titipan yang tidak dipersaksikan.
b)      Sunah
Wasiat itu disunatkan bila diperuntukkan bagi kebajikan, karib kerabat, orang-orang fakir dan orang-orang saleh.
c)      Haram
Wasiat itu diharamkan jika ia merugikan ahli waris. Wasiat yang maksudnya merugikan ahli waris seperti ini adalah batil, sekalipun wasiat itu mencapai sepertiga harta. Diharamkan juga mewasiatkan khamar, membangun gereja, atau tempat hiburan.
d)     Makruh
Wasiat itu makruh jika orang yang berwasiat sedikit harta, sedang dia mempunyai seorang atau banyak ahli waris yang membutuhkan hartanya. Demikian pula dimakruhkan wasiat kepada orang yang fasik jika diketahui atau diduga keras bahwa mereka akan menggunakan harta itu di dalam kefasikan dan kerusakan.
e)      Jaiz
Wasiat diperbolehkan bila ia ditujukan kepada orang yang kaya, baik orang yang diwasiati itu kerabat ataupun orang jauh (bukan kerabat).

3.      Dasar Hukum Wasiat
a) Al-Qur’an
Q.S Al-Baqarah ayat 180 :

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf,  (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.
Q.S Al-Baqarah ayat 283 :

“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

b) Hadits
وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ اَلْبَاهِلِيِّ رضي الله عنه سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : ( إِنَّ اَللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ , فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ )  رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَالْأَرْبَعَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ , وَحَسَّنَهُ أَحْمَدُ وَاَلتِّرْمِذِيُّ , وَقَوَّاهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ , وَابْنُ اَلْجَارُودِ

Abu Umamah al-Bahily Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya Allah telah memberi hak kepada tiap-tiap yang berhak dan tidak ada wasiat untuk ahli waris." Riwayat Ahmad dan Imam Empat kecuali Nasa'i. Hadits hasah menurut Ahmad dan Tirmidzi, dan dikuatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu al-Jarud
(Bulughul Maram digital, 2008 : 987)

وَرَوَى ابْنُ مَا جَةَ عَنْ جَا بِرٍ قَا لَ : قَا لَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم: مَنْ مَا تَ عَلَى وَصِيَّةٍ مَا تَ عَلَى سَبِيْلٍ وَسُنَّةٍ و مَا تَ عَلَى تَقِىٍّ وَشَهَا دَةٍ وَمَا تَ مَغْفُوْرًا لَه                    
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Jabir, dia berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW : “ barang siapa yang mati  dalam keadaan berwasiat, maka dia telah mati di jalan Allah dan Sunnah, mati dalam keadaan taqwa dan syahid, dan dia mati dalam keadaan diampuni dosanya.”
(Sayyid Sabiq, 1987 : 232)
c)  Ijma’
Kaum muslimin sepakat bahwa tindakan wasiat merupakan syariat Allah dan RasulNya. Ijma’ didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits.

B.     Rukun, dan Syarat Wasiat
1.      Rukun wasiat
Menurut Sayyid Sabiq rukun wasiat itu adalah dari orang yang mewasiatkan.Menurut Ibnu Rusyd wasiat ada 4 yaitu : orang yang berwasiat, orang yang menerima wasiat, barang yang diwasiatkan, dan sighat (Elimartati, 2010 : 61).
2.      Syarat wasiat
a)      Syarat orang yang berwasiat
Menurut Sayyid Sabiq diisyaratkan agar orang yang memberi wasiat itu adalah orang yang ahli kebaikan, yaitu orang yang mempunyai kompetensi (kecakapan) yang sah.
b)      Syarat orang yang menerima wasiat
·         Dia bukan ahli waris dari orang yang berwasiat.
·         Orang yang diberi wasiat disyaratkan ada dan benar-benar ada disaat wasiat dilaksanakan baik ada secara nyata maupun secara perkiraan, seperti berwasiat kepada anak dalam kandugan, maka kandungan itu harus ada diwaktu wasiat diterima.
·         Orang yang diberi wasiat bukan lah orang yang membunuh orang yang memberi wasiat.
c)      Syarat benda yang diwasiatkan
Pada dasarnya benda yang menjadi objek wasiat adalah benda-benda  atau manfaat yang bisa dimiliki dan dapat digunakan untuk kepentingan manusia secara positif (Elimartati, 2010 : 64).
Menurut pasal 194 Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewaris (ayat 2) (Abdul Shomad, 2010 : 355).
Menurut Amir Syrifuddin harta yang diwasiatkan itu tidak boleh melebihi sepertiga dari harta yang dimiliki oleh pewasiat (Amir Syarifuddin, 2010 : 237).
Menurut pasal 195 bahwa wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya (pasal 195 ayat 2). Pernyataan persetujuan dibuat secara lisan dihadapan dua orang saksi atau tertulis dihadapan dua orang saksi  atau dihadapan notaris (pasal195 ayat 4). Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan, sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujuinya maka wasiat hanya dilaksanakan sampai batas sepertiga harta warisan (Abdul Shomad, 2010 : 356). 
C.    Permasalahan Tentang  Wasiat
1.      Yang tidak boleh menerima Wasiat
Dari uraian yang terdahulu bahwa yang boleh menerima wasiat adalah orang-orang yang tidak menjadi ahli waris. Jadi intinya orang yang telah menjadi ahli waris tidak berhak untuk menerima wasiat karena wasiat itu hanya diperuntukkan kepada selain orang yang menjadi ahli waris.
Rincian tentang yang tidak boleh menerima wasiat dijelaskan dalam KHI pasal 207 dan 208. Pasal 207 “ wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberi tuntunan kerohanian sewaktu ia menderita sakit hingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasanya”. Pasal 208 “ wasiat tidak berlaku bagi notaris dan saksi-saksi pembuat akta tersebut. Peraturan tersebut di atas dimaksudkan agar tidak terjadi penyimpangan dalampelaksanaan wasiat, mengingat orang-orang yang disebut dalam pasal 207, 208 tersebut terlihat langsung dalam kegiatan wasiat tersebut (Elimartati, 2010 : 67).
2.      Batalnya wasiat
Menurut Sayyid Sabiq wasiat itu batal dengan hilangnya salah satu syarat dari syarat yang ada pada wasiat, misalnya sebagai berikut :
a)      Bila orang yang berwasiat itu menderita penyakit gila yang parah yang menyampaikannya pda kematian.
b)      Bila orang yang diberi wasiat mati sebelum orang yang memberi wasiat itu mati.
c)      Bila yang diwasiatkan itu barang tertentu yang rusak sebelum diterima oleh orang yang diberi wasiat.
Menurut KHI pada pasal 197 :
(1)    Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dihukum karena :
a.      Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewasiat.
b.      Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan bahwa pewasiat telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
c.       Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau mengubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat.
d.      Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dari pewasiat.
(2)   Wasiat itu menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk  menerima wasiat itu :
a.       Tidak mengetahuui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya sipewasiat.
b.      Mengetahui adanya wasiat tersebut, tetapi ia meolak untuk menerimanya.
c.       Mengetahui adanya wasiat itu tetapi tidak pernah mengatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.  
(3)   Wasiat menjadi batal apabila barang yang diwasiatkan musnah.
3.      Pencabutan wasiat
Pencabutan wasiat diatur dalam pasal 199 KHI yang berbunyi :
1)      Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum mengatakan persetujuannya atau mengatakan persetujuannya tetapi kemudian menarik kembali.
2)      Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau bebrdasarkan akte notaris bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan.
3)      Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengna cara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte notaris.
4)      Bila wasiat dibuat berdasarkan akte notaris, maka hanya dapat dicabut berdasarkan akte notaris.
Apabila wasiat yang telah dilaksanakan itu dicabut, maka surat wasiat yang dicabut diserahkan kembali kepada pewasiat sebagaimana diatur dalam pasal 203 ayat  (2) KHI (Elimartati, 2010 : 69-70).
4.      Wasiat wajibah
Wasiat wajibah adalah  tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat Negara untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu (Elimartati, 2010 : 70).
Orang-orang yang mendapat wasiat wajibah adalah cucu-cucu yang orang tuanya telah mati mendahului atau berbarengan dengan pewaris. Mereka diberi wasiat wajibah sebesar bagian orang tuanya dengan ketentuan tidak melebihi dari 1/3 peninggalan. Oleh karena besar kecilnya bagian orang tuanya itu tergantung dengan sedikit atau banyaknya saudara orang tuanya, maka ada kemungkinan bahwa bagian orang tuanya 1/5, 1/4, 1/3 atau 1/2 peninggalan, kelebihannya itu harus dikembalikan kepada ahli waris. Walaupun cucu tersebut dapat menduduki kedudukan orang tuanya dalam memperoleh harta warisan, namun jumlah yang diterimanya itu bukan semata-mata berdasarkan memusakai (dengan fardh atau ushubah), tetapi berdasarkan wasiat wajibah. Oleh karena itu, memberikan bagiannya harus didahulukan daripada memberikan bagian kepada ahli waris (Abdul Shomad, 2010 : 365).
Dasar hukum penentuan wasiat wajibah adalah kompromi dari pendapat-pendapat ulama salaf dan khalaf yang menurut Fathur Rahman adalah :
Tergantung kewajiban berwasiat kepada kerabat, kerabat yang tidak dapat menerima pusaka ialah diambil dari pendapat-pendapat fuqaha’ dan Tabi’in  besar ahli fiqih dan ahli hadits antara lain Sain bin Musayyad, Hasan Al-Basyri, Thawus, Ahmad Ishak bin Rahawib dan Ibnu Hazmin.
Pemberian sebagian harta simati kepada kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka yang berfungsi wasiat wajibah, bila simati tdak berwasiat adalah diambil dari pendapat mazhab Ibnu Hazmin yang dinukilkan dari fuqaha’, tabi’in dan pendapat Ahmad.
Pengkhususan kerabat-kerabat yang tidak menerima pusaka kepada cucu dan pembatasan penerimaan sebesar 1/3 peninggalan adalah didasarkan kepada Ibnu hanzim, dan kaedah yang berbunyi “ pemegang kekuasaan mempunyai wewenang perkara mubah karena ia berpendapat bahwa hal itu membawa kemaslahatan umum. Bila penguasa memrintahkan demikian wajiblah ditaati”.
5.      Ketentuan Teknis
Dalam KHI juga diatur beberapa ketentuan teknis untuk mengantisipasi dan menyelesaikan masalah yang timbul, antara lain pasal 204 yang menyebutkan :
Jika pewasiat meninggal dunia maka surat wasiat yang tertutup dan disimpan pada notaris, dibuka olehnya dihadapan ahli waris, disaksikan dua orang saksi dan dengan membuat berita acara pembukaan surat wasiat tersebut.
Jika surat wasiat yang tertutup disimpan bukan pada notaris maka penyimpan harus menyerahkan kepada notaris setempat dan selanjutnya notaris atau kantor urusan agama membuka sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) pasal ini.
Setelah semua isi serta maksud surat wasiat itu diketahui maka oleh notaris atau kantor urusan agama diserahkan kepada penerima wasiat guna menyelesaikan wasiat guna penyelesaian selanjutnya.
Pasal 205 menyatakan dalam waktu perang, para anggota tentara dan mereka yang termasuk dalam golongan tentara dan berada dalam daerah pertempuran atau yang berada disuatu tempat yang ada dalam kepungan musuh, dibolehkan membuat surat wasiat dihadapan seorang komandan atasannya dengan dhadirkan oleh dua orang saksi.
Pasal 206 mengatur orang yang sedang dalam perjalanan melalui laut dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan nahkoda atau mualim kapal jika pejabat tersebut tidak ada maka dibuat dihadapan seorang penggantinya dengan dihadiri dua orang saksi.
D.    Membedakan Wasiat dengan Wasiat Wajibah
No
Perbedaan
Wasiat biasa
Wasiat wajibah
1
Dari segi yang orang menerima wasiat.
·    Orang lain selain orang yang menjadi ahli waris.
·   Diberikan kepada anak angkat yang tidak mendapat wasiat biasa.
·  Cucu laki-laki maupun cucu perempuan yang orang tuanya mati mendahului atau bersama-sama kakek atau neneknya (pewasiat).
2
Dari segi  hukum
·      sunah
·      wajib

DAFTAR PUSTAKA
Elimartati, 2010. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Batusangkar : STAIN Batusangkar Press.
Abdul Shomad, 2010. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Sayyid Sabiq,1987. Fiqih Sunnah

12 komentar:

  1. kirim file untuk format laporan PPL ke riashaotori@gmail.com yo zainal, thanks b4 :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ria, Maaf y... baru buka blognya,, gmana kknnya sukseskaan???

      Hapus
  2. Assalamu’alaikum wr. wb.

    Alhamdulillah, tambah saudara!

    Saudaraku...,
    Sungguh, aku benar-benar sangat terharu karena telah dipertemukan oleh Allah SWT. dengan saudara-saudara seiman, meski (sebagian diantaranya) hanya secara cyber.

    Semoga tali silaturrahim ini tetap terbina selamanya dalam naungan rahmat dan ridho-Nya. Amin, ya rabbal 'alamin!

    ---

    Ya… Tuhan kami,
    Betapa indahnya persaudaraan dalam iman dan Islam yang telah Engkau anugerahkan kepada kami.

    Ya… Tuhan kami,
    Bimbinglah kami, peliharalah kami, dan tunjukilah kami,
    Sehingga kami senantiasa mampu untuk tetap menjaga tali silaturrahim diantara kami. Dan terhindar dari perpecahan dan permusuhan diantara kami.

    Dari saudara seiman,
    Imron Kuswandi M.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waalaikum salam wrwb,, pak imron,salam ukhwah pak..,makasih atas do,a dan motivasinya,, ia pak..,smoga ada nilai di sisi Nya pak,, dan semoga Allah memberikan Cinta Nya, dan cinta orang2 yang mencintai saudaranya hanya karena Nya, serta lebih baik utk kemaslahatan dunia dan akhirat..amiin..

      Hapus
  3. bagus banget isi tulisannya dek..
    lanjutkan menulisnya...^_^

    BalasHapus
  4. bagus bnget saudara q tpi sumbernya kurang jelas ada baiknya menambahkan referensi atau catatan kaki terima kasih (^_^)

    BalasHapus
    Balasan
    1. bang arif setyawan,,ia bang,, makasih atas sarannya, saran yang mantap banget bang..


      makalahnya tak pakai catatan kaki, karena body note sudah ada bang..,,dan buku yang ada di daftar pustaka itu,,itulah buku sumbernya..
      salam ukhwah bang..:)

      Hapus
  5. Bagaimana cara pelaksanaan apabila sesorang menerima wasiat.

    BalasHapus
  6. Bagaimana cara pelaksanaan apabila sesorang menerima wasiat.

    BalasHapus
  7. Assalamu'alaikum akhi ada ralat harusnya Albaqarah 240 bukan 283 mohon diperbaiki terima kasih

    BalasHapus